Berkata-kata Dalam Pimpinan Roh

Minggu, 19 Mei 2024 oleh Pdt. Fo Era Era Gea

Kisah Para Rasul 2:1-21, Yohanes 15:26-27; 16:4-15 

 

Apa yang biasa kita lakukan sebagai perantau ketika dapat libur panjang? Mungkin ada sebagian yang pergi berlibur ke luar kota bahkan luar negeri. Ada pula yang akan kembali ke kampung halaman alias mudik. Biasanya tradisi itu dilakukan ketika libur panjang nya berkaitan dengan hari raya keagamaan (lebaran atau natal-tahun baru). Pada momen itu, mudik atau pulang kampung menjadi sarana berkumpul dengan keluarga di kampung halaman sekaligus juga merayakan perayaan keagamaan. Budaya semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga nampak pada budaya orang-orang Israel. Dalam tradisi Yahudi ada peristiwa yang dalam bahasa Ibrani disebut shavout: minggu-minggu atau biasa disebut sebagai pentakosta (Yun. pentekoste) yang berarti hari kelima puluh. Hasil panen yang pertama dibawa pada hari Paska. Tujuh pekan kemudian, sehari setelah Hari Sabat yang ketujuh, yakni hari yang kelima puluh, mereka membawa kurban sajian kepada Tuhan, sebagai puncak perayaan panen (Im. 23:15-16). Di momen pentakosta inilah orang-orang Yahudi  dari segala penjuru datang ke Yerusalem untuk merayakan pesta panen sekaligus juga menjadi kesempatan untuk mengingat peristiwa di Sinai, yakni ketika Allah menyampaikan sepuluh firman-Nya kepada Musa.

Berbicara tentang pentakosta, bacaan Kisah Para Rasul 2:1-13 mengisahkan tentang perayaan ini. Saat itu para murid berkumpul di suatu tempat. Pada momen pentakosta itu terdengar bunyi dari langit seperti tiupan angin keras dan tampaklah lidah-lidah api yang hinggap pada para murid. Kemudian mereka mulai dapat berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain dan bahasa itu dimengerti oleh semua orang yang hadir di sana, yakni orang-orang dari berbagai penjuru (Kis. 2:8-11). Melalui peristiwa ini, pentakosta dalam iman Kristen dihayati sebagai Roh Kudus yang menyatakan kuasa-Nya melalui para rasul dalam wujud lidah-lidah api.

Berkaitan dengan karunia berbahasa, setidaknya muncul tiga pemahaman yang berkembang. Pertama, kryptolalia (rahasia atau tersembunyi), yakni bahasa lidah atau bahasa roh yang tidak dipahami oleh orang-orang, sehingga dibutuhkan penafsir atau penerjemah untuk bahasa itu. Kedua, xenolalia (asing), yakni bahasa manusia atau bahasa yang digunakan dan dikenal oleh manusia. Bahasa ini asing bagi penutur, tetapi dapat dipahami oleh pendengar. Terakhir, diglossia yakni kondisi ketika ada dua bahasa yang digunakan masyarakat dalam situasi yang berbeda. Biasanya yang satu disebut bahasa nasional dan yang lain disebut bahasa lokal. Misalnya orang Batak menggunakan bahasa Indonesia untuk situasi formal dan kemudian menggunakan bahasa Batak dengan keluarga dan teman.

Dalam konteks yang terjadi, nampaknya lebih masuk akal dengan model pemahaman yang kedua dan ketiga ketimbang yang pertama sebab bahasa lain yang dimaksud bukanlah bahasa yang tidak dimengerti melainkan bahasa yang dimengerti oleh orang-orang saat itu. Baik yang kedua ataupun ketiga, keduanya memiliki prinsip yang sama yaitu merupakan karunia Roh Kudus yang menyatakan kuasanya kepada para murid. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Yesus ketika masih bersama para murid bahwa Roh Kebenaran akan hadir untuk memimpin ke dalam sebuah kebenaran (Yoh. 16:13).

Roh Kudus yang memimpin para murid adalah juga yang memimpin kita saat ini. Ia menuntun kita sehingga kata-kata yang terucap adalah kata-kata yang dapat memberkati kehidupan orang lain dan semesta ini. Ia menuntun kita sehingga kata-kata yang terucap bukanlah sekedar kata-kata melainkan berujung pada tindakan nyata yang membangun, memulihkan dan menghadirkan kasih. Kini izinkanlah diri kita untuk dipimpin oleh Roh Kudus. Selamat merayakan pentakosta. Selamat berkata-kata dan berkarya bagi dunia ini!

 

Pdt. Fo Era Era Gea