Ulangan 5:12-15; Markus 2:23-3:6
Pada dasarnya aturan dibuat agar tercipta sebuah ketertiban dan keteraturan yang sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku. Bayangkan jika tidak ada aturan di dunia ini, maka kehidupan yang ada hanyalah dipenuhi oleh kekacauan, kesemrawutan, dan tindakan anarki. Sungguh mengerikan bukan? Namun apa jadinya jika peraturan yang dibuat untuk menjaga ketertiban dan keteraturan malah justru digunakan untuk mencederai kehidupan? Aturan yang ada ditafsir secara harfiah tanpa melihat pesan utama yang terkandung di dalamnya sehingga membutakan hati nurani dan justru malah mengorbankan kemanusiaan.
Kondisi semacam inilah yang hendak diperlihatkan dalam Markus 2:23-3:6. Saat hari Sabat tiba, Yesus dan para murid tengah berjalan melewati ladang gandum. Sambil berjalan ternyata murid-murid memetik gandum. Segera orang Farisi mempersoalkan apa yang kemudian dilakukan oleh para murid. Bukan karena tindakan memetik gandum milik orang lain yang dipersoalkan oleh Orang Farisi, melainkan karena tindakan itu dilakukan saat hari Sabat. Dalam tradisi orang Israel, hari Sabat menjadi hari yang dikhususkan. Alasannya karena dahulu umat Israel adalah budak di tanah Mesir. Mereka terus bekerja tiada henti tanpa mengenal lelah. Allah dengan belas kasih-Nya kemudian membebaskan mereka. Bukan hanya kebebasan saja, Allah pun memberikan hari Sabat bagi mereka melalui hukum taurat ke-4 agar mereka dapat beristirahat (Ul. 5:12-15).
Yesus merasa keberatan atas apa yang dikatakan oleh orang-orang Farisi. Ia kemudian mengingatkan mereka dengan peristiwa Daud dan para pengikutnya yang sedang kelaparan saat lari dari Kerajaan Saul. Dalam kondisi yang lapar itu, Daud mendatangi rumah Allah, dan hanya menemukan roti sajian yang dikhususkan untuk imam-imam. Tentu saja Daud memahami aturan itu, tetapi demi keselamatan ia bersama dengan pengikutnya memakan roti sajian itu. Yesus mengingatkan kisah ini agar orang-orang Farisi memahami bahwa nilai-nilai kemanusian jauh lebih utama ketimbang otoritas hukum dan penafsirannya. Itu sebabnya Yesus mengatakan, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk. 2:27).
Bukannya mengerti, orang-orang Farisi itu justru malah semakin mencari-cari kesalahan Yesus saat hari Sabat. Saat Yesus masuk ke rumah ibadat, Ia menjumpai orang yang tangannya mati sebelah. Yesus menyuruhnya berdiri di tengah, dan bertanya kepada orang-orang disitu, “Manakah yang diperbolehkan pada Hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan orang atau membunuhnya?” (Mrk. 3:4). Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan berbuat baik, malah dijawab dengan keheningan. Mereka tahu jawaban yang tepat, namun hati mereka begitu keras. Pada akhirnya Yesus menyembuhkan orang yang tangannya mati sebelah. Tindakan-Nya ini memperlihatkan kepada kita bahwa Sabat yang sejati bukan soal boleh atau tidaknya melakukan sesuatu, ini soal bagaimana aturan Sabat dimaknai untuk memanusikan manusia dan menolong ciptaan yang lain.
Lantas bagaimana dengan aturan-aturan saat ini? Aturan di keluarga kita, di tempat kerja, di sekolah atau kampus, di gereja? Jangan sampai kita terjebak menjadi orang-orang Farisi masa kini yang hanya bisa membuat dan menafsirkan aturan secara harfiah yang ujung-ujungnya hanya menyengsarakan dan mencederai kehidupan bersama. Sebagaimana hari Sabat yang adalah aturan yang menghadirkan Kasih Allah, kiranya hal yang sama juga yang menjiwai aturan-aturan yang diberlakukan!
Pdt. Fo Era Era Gea